NAGEKEO - Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo diduga menggunakan data fiktif dalam menentukan nama dan nomor peta bidang lahan warga terdampak dalam urusan pembangunan Waduk Lambo.
Pasalnya, banyak lahan warga yang tereliminir akibat dari metode pemberian nomor peta bidang yang tidak sesuai dengan nama kepemilikan sah atas tanah tersebut.
Beberapa kasus yang ditemukan media ini, hasil pantauan wartawan indonesiasatu.co.id, menyebutkan bahwa terjadi perubahan nama kepemilikan dari sekian banyak nomor peta bidang, yang sedianya sudah didata oleh BPN kemudian berubah ke pemilik yang sah setelah dilakukan uji petik di lahan pembangunan, meskipun sudah dilakukan penandatanganan kwitansi pembayaran ganti rugi.
Dikatakan Leonardus Dhenga, yang awalnya menandatangani kwitansi pada nomor peta bidang 197, serta Suku Nakarobho dengan nomor peta bidang 198 & 199 yang kemudian berubah menjadi hak Suku Kawa setelah dilakukan crosscheck di lokasi bersama Camat Aesesa, Suku Kawa, Suku Nakarobho, BWS dan disaksikan oleh aparat Polres Nagekeo dan dikuatkan dengan Berita Acara pengakuan atas hak Ulayat masyarakat adat Kawa pada Jumad 26 November 2021 di Aula Hotel Sasandi Mbay.
Demikian juga persoalan Rendu dan Kawa yang semula pada nomor peta bidang tercatat dengan nama ulayat Suku Rendu, namun setelah dilakukan validasi data yang dimediasi oleh Camat Aesesa beserta Camat Aesesa Selatan dibawah koordinasi Asisten 1 dan Kabag Tatapem Nagekeo menghasilkan kesepakatan bagi hasil ganti kerugian dengan prosentase 60% untuk masyarakat adat Kawa dan 40% untuk masyarakat adat Rendu yang dikuatkan dengan berita acara pada Senin 29 November 2021 di ruang VIP Bupati Nagekeo.
Pantauan media ini juga ditemukan bahwa lahan yang didata atas nama Suku Lambo oleh BPN, kemudian dianulir kembali oleh pemiliknya dari suku Ebudai yang dikuatkan dengan berita acara dan ditanda tangani oleh Krispinus Rada pada Kamis 2 November 2021 di Kantor Pertanahan Nagekeo.
Berbagai persoalan dan dinamika yang terjadi akhir akhir ini, memantik respon dari salah satu praktisi hukum yang juga merupakan pemilik Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Nurani Lukas Mbulang SH ketika ditemui indonesiasatu.co.id, Jumat (03/12/2021) kemarin, di kediaman nya.
Mbulang Lukas mengatakan bahwa dinamika yang terjadi paska penandatanganan kwitansi tanggal 8 November 2021 tersebut, akibat dari proses pengadaan, pendataan dan penomoran peta bidang tanah oleh BPN yang tidak valid dan banyak bermasalah.
Terkesan proses yang dilakukan oleh BPN cacat prosedural (Procedural Disability) dan Cacat Hukum (Legal Disability). Hal ini menandakan BPN tidak becus dalam melakukan pendataan nama dan nomor pada peta bidang lahan.
Menurut Lukas, metode pendekatan yang dilakukan oleh BPN tidak menggunakan Hukum Adat sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria Nasional nomor 5 tahun 1960 pasal 5 jo pasal 56 "Hak milik berdasarkan Hukum adat" karena dalam Hukum adat diatur pemegang hak dan penggarap. Bukan tidak mungkin masih banyak persoalan nomor peta bidang yang didata tidak sesuai dengan nama kepemilikan sah, baik perseorangan maupun ulayat Suku. Seperti Suku Ana Nuwa dan Suku Ebudai , demikian juga tanah ulayat masyarakat adat Lambo dan Rendu.
"Kalau Kawa, Rendu dan Nakarobho bisa dianulir, ada ruang untuk lakukan pembenahan, mengapa yang lain tidak boleh. Kalau BPN tetap paksakan dengan data yang cacat hukum, tanpa diikuti dengan penyelesaian secara arif dan bijak, maka akan terjadi persoalan hukum di kemudian hari. Kebenaran prosedural tidak boleh mengabaikan kebenaran hak atas materil, karena status kepemilikan hak atas lahan berbeda dengan status sebagai penggarap. UU sudah atur itu secara jelas, " papar Lukas Mbulang.
Lukas Mbulang berharap kepada Pemda Nagekeo, BPN dan BWS Nusa Tenggara 2 harus bijak dalam menyelesaikan persoalan lahan warga dalam proses pembangunan Waduk Mbay/Lambo. Sebab jangan sampai, pembangunan Waduk menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat, bukan malah mensejahterakan masyarakat itu sendiri. "Jangan salahkan masyarakat kalau kemudian mereka persoalkan.Kita berharap pemerintah jangan tutup mata dengan persoalan ini, BPN juga harus pastikan data nama dan nomor peta bidang harus sesuai kepemilikannya, baik secara perorangan maupun suku, " pintanya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu tokoh muda Lambo Krispinus Rada di Mbay Jumad 3 November 2021.
Menurut Krispinus, masalah terbesar yang dilakukan oleh pihak BPN Nagekeo yakni terlalu dini melakukan penandatanganan kwitansi ganti rugi di hotel Pepita tanggal 8 November 2021, semetara persoalan data kepemilikan belum valid dan masih carut marut.
"Bukan rahasia umum lagi bahwa hari ini terjadi banyak sekali polemik terkait hak kepemilikan atas ulayat yg tertera dalam peta bidang pembangunan Waduk Mbay/Lambo. Secara internal Lambo, setiap suku mulai bicara hak ulayatnya masing - masing, sementara pada saat yang sama kwitansi pembayaran bentuk ganti kerugian lahan dalam pembangunan ini sudah ditandatangani oleh orang perorangan. Inikan masalah yang sangat besar. Begitupun urusan eksternal, persoalan ulayat antara Lambo dan Rendu yang belum selesai, " imbuh Krispinus